Dalam jurnalisme media cetak, yang dimaksud dengan “feature” adalah sebuah tulisan khas, yang ditulis secara luwes dan menarik, dan relatif tak lekang oleh waktu (saat pemuatannya tidak harus diburu-buru seperti berita biasa). Tidak ada aturan yang mengikat berapa persisnya panjang sebuah feature, sejauh feature itu masih menarik untuk dibaca.

Secara singkat, struktur, gaya penulisan dan kemasan feature memang berbeda dengan berita biasa (spot news, straight news, hard news). Unsur subyektifitas si penulis bisa lebih terasa dalam tulisan feature. Sebaliknya, dalam penulisan berita biasa, subyektifitas si penulis sangat dihindari.

Topik sebuah feature bisa beragam, tetapi umumnya menyangkut human interest. Segala sesuatu yang menyangkut manusia, dengan segala perilakunya dan aspek kehidupannya (kegembiraan, kebahagiaan, kesedihan, penderitaan, perjuangan, keberhasilan, dan sebagainya), memang selalu menarik untuk dituliskan.

Topik-topik itu, misalnya: profil seorang guru yang mengabdi di daerah terpencil; kehidupan nelayan miskin di Indramayu; upaya seorang pecandu untuk lepas dari jeratan narkoba; nasib tenaga kerja Indonesia yang terlunta-lunta di luar negeri; dan sebagainya.

Membandingkan dengan feature di media cetak, maka ketika kita bicara tentang bagaimana memproduksi feature untuk media televisi, tampak ada beberapa ciri yang sama. Seperti: sifatnya yang relatif tak lekang oleh waktu, keluwesan dalam gaya pengemasan, serta variasi pilihan topiknya.
Yang jelas, memproduksi suatu paket feature untuk media TV, tidaklah sama dengan membuat paket berita (spot news), baik dari segi proses, tahapan pembuatan, maupun gaya pengemasan. Feature untuk media TV sendiri bisa berbentuk macam-macam.

Salah satu yang penting dan akan dibahas di sini adalah bagaimana membuat film dokumenter (documentary films).

Makna Film Dokumenter

Istilah “dokumenter” atau documentary (bahasa Inggris), adalah turunan dari kata Perancis, documentaire. Yang artinya, sebuah film atau pembicaraan yang menggambarkan perjalanan di suatu negeri tertentu. Apakah cara pengambilan gambarnya secara langsung atau direkaulang, sampai tahun 1960-an, film dokumenter yang tradisional adalah urusan tunjukkan-dan- ceritakan (show-and-tell) .

Dokumenter bukanlah reproduksi dari realitas, tetapi merupakan representrasi dari dunia yang kita huni. Jika reproduksi diartikan sebagai sekadar meng-copy dari sesuatu yang sudah ada, maka representasi berarti menetapkan pandangan tertentu terhadap dunia. Yakni, suatu pandangan yang mungkin tak pernah kita temui sebelumnya, bahkan sekalipun aspek-aspek dari dunia yang direpresentasikan itu sudah akrab dengan kita atau sering kita lihat.

Kita menilai sebuah reproduksi dari keserupaannya dengan yang asli (orisinal), dari kapasitasnya untuk persis, bertindak sama, dan melayani fungsi dan manfaat yang sama dengan yang asli. Semakin persis atau menyerupai dengan yang asli, semakin baik.

Sedangkan di sisi lain, kita menilai sebuah representasi lebih pada hakikat kesenangan yang ditawarkan, nilai-nilai wawasan atau pengetahuan yang disampaikan, dan kualitas orientasi atau disposisi, nada atau perspektif yang dihadirkan. Kita biasanya mengharapkan lebih banyak dari representasi, ketimbang dari reproduksi.

Hal ini dengan cepat bisa ditunjukkan dalam fotografi. Sebuah lokasi yang akan dipotret mungkin dan seharusnya direpresentasikan secara benar. Namun, sejumlah artis bisa melihat dan merepresentasikan kebenaran lebih banyak dan lebih hebat, dari sekadar seorang biasa yang kebetulan lewat di sana.

Dokumenter adalah apa yang kita sebut “fuzzy concept,” suatu konsep yang tidak jelas. Tidak semua film yang disebut sebagai dokumenter memiliki kesamaan yang dekat antara satu dengan yang lain, sebagaimana banyak alat transportasi yang bisa disebut sebagai “wahana” (vehicle).

Dokumenter tidak mengadopsi inventori teknik yang tetap (fixed), tidak terikat pada seperangkat isu/tema tertentu untuk diangkat, serta tidak memperagakan bentuk atau gaya tampilan yang tunggal. Tidak semua dokumenter memiliki perangkat karakteristik atau ciri-ciri yang sama. Praktik film dokumenter adalah arena di mana hal-hal terus berubah. Berbagai pendekatan alternatif terus-menerus dicoba dan kemudian diadopsi oleh yang lain, atau ditinggalkan. Kontestasi terjadi.

Ketidakjelasan definisi muncul sebagian karena definisi-definisi itu berubah bersama waktu, dan sebagian yang lain karena pada setiap momen tidak ada satu definisi pun yang bisa mencakup semua film, yang mungkin kita anggap sebagai dokumenter.

Kita bisa memperoleh pegangan yang lebih baik dalam mendefinisikan dokumenter, dengan mendekatinya dari empat sudut: lembaga, praktisi, teks (film dan video), dan audiens.

Kerangka kelembagaan

Ini kelihatannya berputar-putar, namun salah satu cara mendefinisikan dokumenter adalah dengan mengatakan, “Dokumenter adalah apa yang dibuat oleh organisasi dan lembaga yang memproduksinya.” Jika Discovery Channel menyebut sebuah program sebagai dokumenter, maka program/film itu diberi label dokumenter, sebelum aktivitas dari pihak penonton dan kritikus film dimulai.

Definisi ini, meskipun berputar-putar, berfungsi sebagai pertanda awal bahwa suatu karya dapat dianggap sebagai dokumenter. Konteks akan memberi pertanda. Jika sponsornya adalah Dewan Film Nasional Kanada, Fox TV, History Channel, atau Michael Moore, kita membuat asumsi tertentu tentang status dokumenter dari film tersebut, serta derajat obyektivitas, reliabilitas, dan kredibilitasnya. Kita membuat asumsi tentang status non-fiksinya dan rujukannya ke dunia historis kita bersama, ketimbang dunia yang dikhayalkan pembuat film fiksi.

Kerangka kelembagaan juga menetapkan suatu cara kelembagaan dalam melihat dan bicara, yang berfungsi sebagai seperangkat batasan atau konvensi, bagi pembuat film dan audiens. Untuk mengatakan “tak perlu dijelaskan lagi” bahwa pada sebuah dokumenter akan terdapat komentar berbentuk voice-over, atau “setiap orang tahu” bahwa sebuah dokumenter harus menampilkan dua sisi pandang dari suatu tema yang diangkat, adalah sama dengan mengatakan apa yang biasanya terdapat dalam kerangka kelembagaan spesifik.

Komunitas praktisi

Mereka yang membuat film dokumenter, seperti juga lembaga yang mendukung mereka, memegang asumsi-asumsi dan harapan-harapan tertentu tentang apa yang mereka lakukan. Walau setiap kerangka kelembagaan menetapkan batasan dan konvensi, pembuat film perseorangan tidak perlu sepenuhnya menerima batasan dan konvensi tersebut.

Para pembuat film dokumenter sama-sama merasa memegang mandat tersendiri, untuk mewakili dunia historis, ketimbang secara imajinatif menciptakan dunia alternatif. Mereka berkumpul pada festival-festival film khusus, seperti Hot Springs Documentary Film Festival (Amerika), Yamagata Documentary Film Festival (Jepang), atau Amsterdam International Documentary Film Festival (Belanda). Mereka juga menyumbang artikel dan wawancara ke jurnal-jurnal yang sama, seperti: Release Print, Documentary, dan Dox.

Praktisi dokumenter bicara dengan bahasa yang sama tentang apa yang mereka kerjakan. Seperti kaum profesional lain, pembuat film dokumenter juga memiliki kosa kata, atau jargonnya sendiri. Itu mungkin mencakup mulai dari kecocokan berbagai stok film untuk situasi-situasi yang berbeda, sampai ke teknik-teknik merekam suara lokasi. Juga, dari etika mengamati orang lain sebagai obyek dokumenter, sampai sikap pragmatis dalam menemukan distributor dan merundingkan kontrak-kontrak bagi kerja mereka. Praktisi dokumenter juga memiliki problem khusus, yang membedakannya dari para pembuat film jenis lain.

Pemahaman kita tentang apa yang disebut dokumenter berubah, ketika mereka para praktisi yang membuat dokumenter juga mengubah idenya tentang apa yang sedang mereka buat.

Kumpulan teks

Film-film yang menciptakan tradisi dokumenter adalah cara lain untuk mendefinisikan bentuk. Untuk awalnya, kita bisa mengangap dokumenter sebagai genre, seperti film koboi (western) atau fiksi-ilmiah (science-fiction) . Untuk menjadi bagian dari suatu genre, sebuah film harus memperagakan ciri-ciri yang sama dengan film-film lain, yang sudah dipandang sebagai dokumenter atau film koboi.

Norma dan konvensi yang muncul dalam dokumenter, yang membantu untuk membedakannya: penggunaan komentar “suara Tuhan” (Voice-of-God) , wawancara, rekaman suara lokasi, cutaways dari scene untuk memberikan citra yang menggambarkan atau mengkomplikasi suatu poin yang dibuat dalam scene. Atau, mengandalkan pada aktor-aktor sosial, atau orang dalam aktivitas dan peran mereka sehari-hari sebagai karakter-karakter sentral dalam film. Semua ini adalah hal-hal yang umum terdapat dalam banyak film dokumenter.

Konvensi lain adalah adanya suatu logika pemberian informasi, yang mengorganisasikan film dalam hubungannya dengan representasi yang dibuatnya tentang dunia historis. Bentuk khas pengorganisasian itu adalah pemecahan masalah (problem solving). Struktur ini dapat menyerupai sebuah cerita, khususnya cerita detektif.

Yaitu, film dimulai dengan menetapkan adanya sebuah problem atau isu. Kemudian film menyampaikan sesuatu tentang latar belakang isu tersebut, disusul dengan penelaahan ketidaknyamanan, keparahan, atau kompleksitas situasi saat ini. Presentasi ini kemudian menjurus ke sebuah rekomendasi atau solusi penutup, di mana penonton didorong untuk mendukung atau mengadopsinya secara pribadi.

Logika --yang mengorganisasikan film dokumenter—mendukung argumen, penegasan, atau klaim yang digarisbawahi tentang dunia historis, yang memberikan pada genre ini semacam rasa partikularitas (kekhususan) tersendiri. Kita berharap untuk berhubungan dengan film-film, yang berhubungan dengan dunia.

Keterhubungan dan logika itu membebaskan dokumenter dari semacam konvensi, yang biasa kita andalkan untuk membentuk sebuah dunia imajiner. Continuity editing, misalnya, yang biasa berfungsi menghilangkan potongan-potongan (cuts) dalam pengambilan gambar untuk film fiksi, kurang mendapat prioritas pada dokumenter. Apa yang dicapai lewat continuity editing dalam film fiksi, dicapai lewat sejarah dalam dokumenter.

Berbagai hal memiliki keterkaitan dalam ruang dan waktu bukan karena kerja editing, tetapi karena kaitan historisnya yang aktual. Editing dalam dokumenter berusaha menunjukkan kaitan-kaitan itu. Dokumenter, kenyataannya, justru sering menunjukkan lebih banyak shots dan scenes terpisah ketimbang film fiksi. Pecahan-pecahan itu disatukan bukan oleh narasi, yang diorganisasikan di sekitar karakter utama, tetapi lebih oleh retorika, yang diorganisasikan oleh sebuah logika atau argumen yang mengontrolnya.

Karakter-karakter, atau aktor-aktor sosial, boleh datang dan pergi, menawarkan informasi, memberi kesaksian, menyampaikan bukti. Tempat-tempat dan berbagai hal bisa muncul dan lenyap, karena mereka dihadirkan untuk mendukung sudut pandang atau perspektif film dokumenter tersebut. Sebuah logika implikasi menjembatani lompatan-lompatan tersebut, dari satu orang atau tempat ke orang atau tempat yang lain.

Konstituensi penonton

Cara terakhir untuk mendefinisikan dokumenter adalah hubungan dengan audiensnya, karena pendekatan lewat kerangka kelembagaan, komunitas praktisi, atau kumpulan teks dirasakan tidak memadai. Lembaga yang mendukung film dokumenter, mungkin juga memproduksi fim-film fiksi atau eksperimental. Sementara praktisi dokumenter mungkin juga membuat film-fiksi dan eksperimental. Ciri-ciri film dokumenter sendiri bisa disimulasikan dalam konteks fiksional (film fiksi).

Dengan kata lain, perumusan lewat tiga pendekatan di atas masih bisa ditembus dan tak bisa dipegang ketat. Maka, rasa bahwa suatu film itu bisa disebut dokumenter sebenarnya berada dalam pikiran orang-orang yang dekat dan berkaitan dengannya, selain terletak pada konteks dan struktur film bersangkutan.

Asumsi dan ekspektasi apa, yang memberi tanda pada sense penonton, bahwa sebuah film adalah karya dokumenter? Apa hal-hal berbeda yang kita bawa pada pengalaman menonton, pada saat kita menonton sesuatu yang kita anggap sebagai film dokumenter, dan bukan film dari genre lain?

Yang paling mendasar, kita membawa asumsi bahwa suara dan gambar dari teks film itu betul-betul berasal dari dunia historis yang kita diami. Suara dan gambar itu tidak dibayangkan atau diproduksi semata-mata untuk film ini. Asumsi ini mengandalkan pada kapasitas citra fotografis dan perekaman suara, untuk menyerupai apa yang kita anggap sebagai kualitas khas (distinctive) dari apa yang telah mereka rekam.

Instrumen-instrumen perekaman (kamera dan tape recorder) mencatat jejak-jejak berbagai hal (suara dan gambar) dengan keserupaan yang tinggi. Hal ini memberikan nilai-nilai dokumenter.

Membuat dokumenter

Topik dokumenter adalah sesuatu yang nyata, yang benar terjadi dan benar-benar ada, bukan fiksi. Pada awalnya, ketika teknologi perfilman masih amat sederhana, semua yang ditampilkan itu adalah laporan tentang sesuatu yang sudah terjadi (after-the-fact) . Film nonfiksi, seperti juga artikel majalah atau buku nonfiksi, melaporkan sesuatu hal, dari mereka (pembuat dokumenter) --yang mengetahui apa yang sudah terjadi-- kepada penonton yang tidak mengetahui apa-apa.

Membuat film dokumenter, terkesan sangat mudah. Anda tinggal pergi ke tempat di mana sesuatu yang menarik sedang terjadi, rekam gambarnya, dan jadilah sebuah film dokumenter. Sayang, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Seandainya Anda berhasil mengambil gambar, saat menit-menit pertama Tsunami melanda Aceh, jelas gambar itu dengan mudah bisa ditawarkan, untuk ditayangkan di televisi. Namun, itu bukan dokumenter. Itu adalah klip berita (news clip).

Anda juga bisa mewawancarai sejumlah orang, yang bicara tentang masalah sosial tertentu. Misalnya, tentang perlakuan terhadap pengidap HIV/AIDS, tentang pencemaran lingkungan, atau tentang pengentasan kemiskinan. Namun, sejumlah wawancara panjang terhadap sejumlah aktivis, yang sangat bersemangat mendukung perubahan sosial, tidak lantas menjadikannya sebuah dokumenter. Yang terwujud mungkin hanyalah sebuah “kotbah” video yang panjang dan membosankan, yang mungkin hanya menarik bagi mereka yang sejak awal sudah “satu kubu” dengan narasumber yang diwawancarai.

Dokumenter adalah perlakuan kreatif terhadap aktualitas, bukan sekadar transkripsi mentah-mentah terhadap aktualitas. Transkripsi atau rekaman yang ketat memang punya nilai tersendiri, seperti untuk dokumentasi peristiwa atau situasi tertentu. Misalnya, dokumentasi peluncuran roket LAPAN, pertunjukan teater Koma, atau pertandingan sepakbola Persib lawan PSMS. Bagaimanapun, kita cenderung menganggap rekaman itu hanya sebagai footage, ketimbang dokumenter.

Sebuah dokumenter mengumpulkan bukti-bukti (footage), namun kemudian menggunakannya untuk membangun perspektif atau argumennya sendiri tentang dunia, tentang tanggapan retoris atau puitisnya sendiri terhadap dunia. Jadi, dalam sebuah dokumenter, diharapkan terdapat transformasi bukti-bukti menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar fakta kering.

Unsur-unsur yang dibutuhkan dalam dokumenter

Untuk menghasilkan karya dokumenter yang baik, dibutuhkan sejumlah unsur.
Pertama, kita harus memiliki gambar (footage) yang baik. Yakni, sebuah bukti visual yang mengajukan pernyataan tentang film dokumenter tersebut dalam bahasa visual.

Gambar tentang Tsunami yang melanda kota Banda Aceh itu memang bagus, namun belum cukup. Sebuah dokumenter mungkin saja memprofilkan warga Aceh, yang memilih bertahan hidup di pinggir pantai, meski tahu bahwa sewaktu-waktu Tsunami bisa saja melanda daerahnya lagi.

Kedua, kita harus memiliki ide atau konsep, yang mengekspresikan sudut pandang karya dokumenter tersebut.

Wawancara mungkin bisa membantu merumuskan suatu sudut pandang. Namun, wawancara itu biasanya merupakan cara yang terlalu berat dan merepotkan dalam sebuah dokumenter, untuk menyampaikan suatu gagasan. Wawancara semata-mata tidak lantas menjadikannya sebuah dokumenter. Hal ini karena wawancara tidak menunjukkan topik, tetapi wawancara hanya menunjukkan orang yang sedang bicara tentang suatu topik.

Ketiga, kita harus memiliki sebuah struktur. Yaitu, progresi gambar dan suara secara teratur, yang akan menarik minat audiens, dan menghadirkan sudut pandang dari karya dokumenter tersebut, sebagai sebuah argumen visual.

Misalnya, film dokumenter The War Room, karya Chris Hegedus dan D.A. Pennebaker, tentang kampanye Bill Clinton tahun 1992, sebelum menjadi Presiden AS. Film ini dibuka dengan serangkaian gambar di daerah pemilihan New Hampshire, yang menunjukkan problem-problem yang dihadapi Clinton selaku kandidat presiden. Tidak ada wawancara dalam film itu. Yang terlihat adalah interaksi-interaksi , yang menunjukkan apa yang terjadi pada kampanye Clinton saat itu. Ketika menonton film itu, secara bertahap audiens melihat kampanye Clinton akhirnya berhasil mengatasi berbagai hambatan, dalam proses menuju kemenangan.

Membuat film dokumenter, atau feature, diawali dengan ide atau gagasan, dan berakhir dengan paket yang siap ditayangkan untuk audiens. Kita sepatutnya memandang, pembuatan sebuah dokumenter pada dasarnya lebih merupakan problem komunikasi, yakni bagaimana menyampaikan suatu pesan kepada audiens. Bukan sebuah problem teknis (peralatan).

Berbagai kemasan dokumenter

Kemasan dokumenter bisa sangat beragam. Mulai dari dokumenter yang di-syut pada situasi apa adanya, sampai dokumenter yang menggunakan gambar reka ulang (reenactment atau recreation), dengan naskah (script) lengkap, dengan persiapan dan perhatian terhadap hal-hal yang detail.
Sejarah dan biografi

Dokumenter selalu melihat ke peristiwa-peristiwa bersejarah dan biografi tokoh-tokoh penting dan menarik. Saat ini, televisi dan pasar di lingkungan pendidikan, menjadikan sejarah dan biografi sebagai bidang garapan utama bagi pembuat dokumenter.

Contohnya adalah:

• Maestro, program di Metro TV, yang memprofilkan tokoh-tokoh yang unik, hebat, dan berprestasi di bidang masing-masing. Tokoh semacam Idris Sardi (musisi dan pemain biola), Rudy Hartono (pemain bulu tangkis), Rosihan Anwar (wartawan senior), Teguh Karya (sutradara kawakan), Bing Slamet (penyanyi, pengarang lagu, dan komedian), layak dijadikan profil.

• Perjalanan Islam di Indonesia, program di Trans TV, yang menggambarkan sejarah masuknya Islam ke Indonesia, dengan berbagai peninggalan budaya dan sejarahnya yang unik di berbagai daerah.
Sejarah dan biografi adalah laporan sesudah terjadi (after-the-fact) tentang kejadian masa lalu. Problem utama bagi pembuat dokumenter adalah bagaimana menemukan cara, agar karya dokumenter semacam itu secara visual tetap menarik.

Bagi tokoh atau peristiwa di abad ke-20, mungkin masih banyak stok gambar dan foto yang bisa digunakan untuk membuat dokumenter tersebut. Namun, untuk sebuah dokumenter sepanjang setengah jam atau satu jam, butuh usaha keras agar bisa menampilkan tokoh atau peristiwa yang terjadi ratusan tahun lalu. Seperti cerita tentang kejayaan kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa, atau tentang perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda.

Pembuat dokumenter sering mengisi kekosongan atau kurangnya gambar itu dengan wawancara pakar, pergi ke lokasi peristiwa, atau bekas rumah tinggal tokoh sejarah bersangkutan. Tak jarang, pembuat dokumenter juga “meminjam” gambar (footage) dari film fiksi untuk menggambarkan periode, pribadi, atau peristiwa masa lalu. Dalam pembuatan dokumenter Perjalanan Islam di Indonesia, misalnya, produser Trans TV terpaksa meminjam footage dari film Walisongo.

Pendekatan lain adalah reka ulang atau reka adegan (reenactment) , penciptaan ulang (re-creating) zaman bersejarah atau orang dan peristiwa dari biografi tersebut. Reka ulang dalam dokumenter harus mengikuti aturan yang sama seperti penciptaan ulang dalam teks sejarah atau teks biografis. Apa yang ditampilkan harus akurat dan benar, sebagaimana yang dipahami pembuat dokumenter.

Tentang Dokudrama (docudrama)

Sebenarnya, mendasarkan sebuah presentasi dramatis pada orang atau peristiwa nyata atau bersejarah, bukanlah sesuatu yang baru. Ini bisa dilihat pada film-film bioskop seperti Cromwell (film tentang tokoh Inggris), The Longest Day (film tentang Perang Dunia II), dan JFK (film tentang pembunuhan Presiden John F. Kennedy).

Namun, film-film itu adalah fiksi, bukan dokumenter. Film-film itu mungkin berkaitan dengan peristiwa-peristiwa nyata, namun ia tidak dikungkung atau dibatasi oleh kebenaran historis dari peristiwa-peristiwa tersebut. Film-film ini adalah karya fiksi yang diturunkan dari kehidupan atau manusia nyata, dan sejarah peristiwa-peristiwa nyata. Singkatnya, dokudrama tidak sama dengan dokumenter.

Dokumenter perilaku (documentaries of behavior)

Ini adalah dokumenter yang menjadikan perilaku manusia sebagai obyeknya. Dengan adanya kamera dan peralatan perekam yang ringan, yang bisa dengan mudah dibawa ke mana saja, dimungkinkan bagi pembuat dokumenter untuk mengikuti orang dan mengamati perilaku mereka dalam film atau videotape.
Pada hari-hari awal sinema langsung (direct cinema), banyak film dibuat tentang orang biasa, yang menjalani kehidupan biasanya. Dokumenter perilaku sampai saat ini masih banyak dibuat orang.

Dokumenter emosi (documentaries of emotion)

Sementara dokumenter perilaku mendorong kita ke suatu arah baru, beberapa praktisi dokumenter mulai mengeksplorasi bentuk lain dari perilaku, yang kita sebut saja dokumenter emosi. Salah satu contoh adalah karya Allie Light, dalam film Dialogues with Madwomen, yang mengeksplorasi dimensi-dimensi emosional dari penderita sakit mental.

Reality Video – Peran Baru bagi Sinema Langsung

Reality video merupakan genre baru dokumenter. Awalnya, ini dimulai dengan program komedi di televisi, yang mengandalkan pada kiriman cuplikan-cuplikan video yang konyol dan lucu dari para penonton. Kemudian, tayangan ini menghasilkan tumbuhnya minat baru pada dokumenter aktualitas (actuality documentary) .

Program televisi seperti Cops; LAPD; dan Real Stories of the Highway Patrol, membawa sinema langsung ke layar televisi di rumah kita. Kemunculan program semacam ini dipicu oleh kompetisi ketat antar berbagai pembuat dokumenter, yang menuntut mereka untuk menekan anggaran produksi. Para pembuat dokumenter ini biasanya adalah produser televisi siaran yang bersindikasi dan jaringan (network).

Contoh program sukses dari jenis ini di Indonesia adalah Jika Aku Menjadi dan Termehek-mehek di Trans TV. Dua program inhouse ini sempat meraih rating tertinggi di Trans TV dan menjadi program unggulan di prime time pada Oktober 2008.

Depok, November 2008

Oleh Satrio Arismunandar

(diambil dari milist kineklub_slo@y...)


============ ========= ===
Artikel ini disusun berdasarkan pokok-pokok pemikiran, yang terdapat dalam buku karya:
• Barry Hampe (1997), Making Documentary Films and Reality Videos. New York: An Owl Book, Henry Holt and Company.
• Bruzzi, Stella (2000), New Documentary: A Critical Introduction. London & New York: Routledge.
• Nichols, Bill (2001). Introduction to Documentary. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press.



0 comments:

Result of google search